Sedemikian uniknya tatanan
busana yang terkait erat dengan adat dan tata sopan santun orang jawa dulu,
demikianpun dalam pemakaian kain batik sebagai busana kebesaran harus mentaati
segala peraturaan yang berlaku. Misalnya pemakaian kain batik untuk kalangan
wanita harus menutupi mata kaki. Kalau memakai kain batik jauh lebih tinggi
dari mata kaki, hal itu bisa diartikan wanita tersebut tidak paham adat, serta
kurang paham kesopanan. Pakaian lembaran kain batik dimulai dari ujungnya masuk
ke sebelah kiri pinggang pemakainya, dan ujung kain batik lainnya melingkari
tubuh ke arah kanan. Sehingga ujung kain batik yang (diwiru-profil
lipat) berada paling atas dan ke arah kanan pinggang pemakainya.
Ini
berbeda dengan cara pemakaian kain batik bagi kaum pria. Dimulai dengan memasukkan
ujung kain batik ke bagian kanan pinggang, lalu ditutupi kain batik yang
melingkari pinggang memutar ke kanan, lalu ke kiri. Sehingga ujung kain batik
yang dilipat-lipat (diwiru) berada di tengah menghadap ke kiri. Bagian atas
kain batik (bagian pinggang) diikat dengan ikat pinggang (epek) serta kain
pengikat pinggang yang panjang. Bagian ini tertutup oleh kain benting (ikat
pinggang panjang) yang terbuat dari kain beludru bermotif kembang-kernbang.
Kemudian tertutup oleh baju kebaya (untuk kaum wanita), atau beskap (untuk kaum
pria). Dengan mengenakan busana Jawi lengkap termasuk sebilah keris yang
terselip di lipatan ikat pinggang, dengan kepala ditutup blangkon (kuluk) untuk
kaum pria, terasalah kebesaran jiwa.
Sementara
kaum wanitanya dalam panutan busana batik dengan kain kebayanya yang membentuk
potongan tubuh yang indah, terasakan keagungannya. Di luar upacara tradisional,
misalnya pada suatu pasta perkawinan di luar keraton, kemeja batik atau gaun
batik dengan pelbagai corak motif dan warnanya sudah merupakan busana resmi.
Keanggunan seni batik tidak saja struktur warnanya yang serasi, juga corak
lukisan batiknya yang penuh berisi filosofi dan penuh ragam sekaligus memberi
ciri khas nilai seni budaya Jawa serta kebanggaan nasional
SENI BATIK
Seni
batik pada dasarnya merupakan seni lukis dengan bahan: kain,
canthing dan malam ‘sebangsa cairan lilin’. Canthing biasanya berbentuk seperti
mangkuk kecil dengan tangki (pegangan) terbuat dari kayu atau bambu dan
bermoncong satu atau lebih. Canthing yang bermoncong satu untuk membuat garis,
titik atau cerek, sedangkan canthing yang bermoncong beberapa (dapat sampai
tujuh) dipakai untuk membuat hiasan berupa kumpulan titik-titik.
Masih
bertahannya seni batik sampai jaman moderen ini, tidak dapat dilepaskan adanya
kebanggaan, adat tradisi, sifat religius dari ragam hias batik, serta usaha
untuk melestarikan pemakai batik tradisional dan tata warna tradisional.
Dilihat dari proses pembuatannya ada batik tulis dan batik cap. Dengan semakin
berkembangnya motif dan ragam hias batik cap, mengakibatkan batik tulis
tradisional mengalami kemunduran. Hal ini dapat dimengerti sebab batik tulis
secara ekonomis harga relatif mahal dan jumlah pengrajin batik tulis semakin
berkurang.
Sekarang
ini ada beberapa daerah yang masih dapat dikatakan sebagai daerah pembatikan
tradisional. Daerah yang dimaksud antara lain:Surakarta,
Yogyakarta, Cirebon, Indramayu, Garut, Pekalongan, Lasem, Madura, Jambi,
Sumatera Barat, Bali dan lain-lain.
Surakarta atau
Surakarta Hadiningrat juga dikenal dengan nama Solo merupakan ibukota kerajaan
dari Karaton Surakarta Hadiningrat. Surakartamerupakan pusat pusat
pemerintahan, agama dan kebudayaan. Sebagai pusat
kebudayaan Surakarta tidak dapat dilepaskan sebagai sumber seni dan
ragam hias batiknya. Ragam hias batik umumnya bersifat simbolos yang erat
hubungannya dengan filsafat Jawa-Hindu, misalnya :
a) Sawat
atau hase ‘sayap’ melambangkan mahkota atau perguruan tinggi.
b) Meru
‘gunung’ melambangkan gunung atau tanah
c) Naga
‘ular’ melambangkan air (tula atau banyu)
d) Burung
melambangkan angin atau dunia atas
e) Lidah
api melambangkan nyala api atau geni
Penciptaan
ragam hias batik tidak hanya memburu keindahannya saja, tetapi juga
memperhitungkan nilai filsafat hidup yang terkandung dalam motifnya. Yang dalam
filsafat hidup tersebut terkandung harapan yang luhur dari penciptanya yang
tulus agar dapat membawa kebaikan dan kebahagiaaan pemakainya. Beberapa contoh
:
a. Ragam hias
slobong, yang berarti agak besar atau longgar atau lancar yang dipakai untuk
melayat dengan harapan agar arwah yang meninggal dunia tidak mendapat kesukaran
dan dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa.
b. Ragam hias sida
mukti, yang berarti ‘jadi bahagia’, dipakai oleh pengantin pria dan wanita,
dengan harapan agar pengantin terus-menerus hidup dalam kebahagiaan.
Dengan
demikian dapatlah dinyatakan bahwa ragam hias dalam seni batik aturan dan tata
cara pemakainya menyangkut harapan pemakainya. Disamping itu, khusus di
Karaton Surakarta, ragam hias batik (terutama kain batik) dapat menyatakan
kedudukan sosial pemakainya, misalnya ragam hias batik parang rusak barong atau
motif lereng hanya boleh dipakai oleh raja dan putra sentana. Bagi abdi dalem
tidak diperkenankan memakai ragam hias tersebut.
Seni
batik bagi Karaton Surakarta merupakan suatu hal yang penting dalam pelaksanaan
tata adat busana tradisional Jawa, dan dalam busana tradisional ini
kain batik memegang peranan yang cukup penting bagi pelestarian dan
pengembangan seni budaya jawa kedepan
Kain Batik Tertentu
Dipercaya Daya Gaib Kepada Pemakainya.
Jangan
sembarang memakai batik, motif batik tertentu dipercaya memberikan kekuatan
pada pemakainya. Maka si pemakai juga bukan orang sembarangan, batik jenis itu
disebut batik larangan.
Batik
larangan banyak tersebar di Yogyakarta, Surakarta danCirebon. Di tiga
daerah itu ada karaton yang dihuni oleh para Sultan. Disana batik berperan
penting dalam upacara tradisional karaton. Pelbagai motif khusus masih diakui
menjadi milik karaton antara lain : Kawung Parang, Cemukiran, Udan
Liris dan Alas-Alasan.
Kawung
Corak
ini bermotif bulatan mirip buah kawung (sejening kepala) yang ditata rapi secara
geomatris. Palang hitam-hitam dalam bulatan diibaratkan biji kawung untuk orang
Jawa, biji itu lambang kesuburan.
Motif
kawung juga bisa diinterprestasikan sebagai gambar lotus (teratai) dengan empat
lembar daun bunga yang merekah. Lotus melambangkan umur panning dan kesucian.
Beberapa
variasi kawung adalah ceplok, truntum dan sidomukti. Salah satu
variasi lain tumbal, diperuntukkan kaum brahmana dan cendekiawan.
Parang
Corang
itu berpola pedang yang menunjukkan kekuatan atau kekuasaan, karenanya batik
bercorak parang diperuntukkan para ksatya dan penguasa. Menurut kepercayaan,
corak parang harus dibatik tanpa salah agar tak menghilangkan kekuatan gaibnya.
Kalau
berpola pisau belati atau keris , batik bercorak parang boleh dipakai
oleh tiap orang dan dipercaya membawa rezeki dan menjauhkan dari
penyakit. Variasinya : Parang Rusak, Parang Barong dan Parang Klitik.
Komposisi
miring pada parang menandakan kekuatan dan gerak cepat, yang dipercaya memberi
kekuatan magis pada batik bercorak parang itu adalah mlinjon, pemisah komposisi
miring berbentuk seperti ketupat.
Sawat
Corak
ini ditandai dengan lukisan sayap atau lar, baik yang berpasangan maupun yang
tunggal. Sayap itu mengibaratkan garuda, menurut mitologi Hindu-Jawa, garuda
adalah burung yang bertubuh dan berkaki seperti manusia, namun bersayap dan
berkepala seperti burung. Corak parang yang diberi tambahan lar garuda hanya
boleh digunakan oleh raja dan putranya.
Batik Sebagai Busana
Dalam Tatanan dan Tuntunan
"Rum
Kuncaraning Bangsa Dumunung Haneng Luhuring Budaya" sabda dari Ingkang
Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakoe Boewono X dari Karaton Surakarta Hadiningrat
itu mempunyai arti harumnya nama dan tingginya derajat suatu bangsa terletak
pada budayanya.
Melihat
keberadaan batik Surakarta pada saat ini, di rasa cukup memprihatinkan
mengingat pada saat ini orang hanya bisa mengenakan, namun ternyata sedikit
yang bisa memahami makna batik secara budaya. Lebih dari itu di saat orang
asing tertarik untuk mempelajari berbagai hal tentang batik, justru orang Jawa
sebagai pemilik sebagai pemilik budaya batik nampaknya sedikit yang
memperdulikannya.
Sedangkan
bagi orang luar termasuk orang asing atau mancanegara diharapkan buku ini dapat
memberikan informasi yang lebih mendalam tentang bathik Surakarta serta dapat
menumbuhkan cakrawala baru bahwa batik, khususnya Gaya Surakartan bukan sekedar
pakaian namun riwayatnya memuat filosofi yang luhur
PENGERTIAN BATIK
Para
penulis buku tentang bathik terdahulu, banyak yang menuliskan kata
"Bathik" dengan "Batik" atau huruf yang seharusnya
"tha" ditulis dengan "ta". Dimana bathik menurut penulis
bathik-bathik terdahulu diartikan menurut "Jarwadhosok" yaitu
"Ngembat Titik" atau "Rambataning Titik-Titik". Dimana dari
"Jarwaodhosok" tersebut dimaksudkan bahwa bathik merupakan rangkaian
dari titik-titik.
Namun
demikian, pemaknaan bathik seperti itu itu penulis tidak tepat atau bahkan
dapat dikatakan salah. Karena jika dilihat dari huruf Jawa yang dipergunakan
dalam menuliskan bathik adalah…… bukannya…… yang menggunakan huruf ta. Sehingga
kalau mengacu pada penulisan tersebut bathik kalau di "Jarwodhosok"
kan akan menjadi ngembat "thithik atau rambating"
thithik-thithik".
Dilihat
dari hal itu arti bathik secara "Jarwadhosok" tidaklah tepat, hanya
sekedar "dolanan tembung" (bermain kata-kata) saja. Dalam budaya Jawa
bathik tidak dapat diartikan hanya dengan satu dua kata ataupun padanan kata
tanpa penjelasan lanjut. Karena bathik merupakan suatu hasil dari proses yang
panning mulai dari melukis motif hingga pada tahap akhir proses
"babaran". Yang menjadi ciri utama dari bathik adalah di dalam proses
tersebut dipergunakan bahan utama berupa mori, malam (lilin) dan pewarna.
Dalam
buku "Peatingkahing Adamel Sinjang", proses pembuatan bathik ada dua
macam yang keduanya memiliki perbedaan mendasar. Yang kemudian dari perbedaan
proses tersebut menghasilkan dua jenis bathik, yaitu bathik carik dan bathik
cap. Perbedaan yang mendasar itu terletak pada proses awal pembuatan bathik,
dimana pada bathik carik pembuatan pola awal motif bathik digambar menggunakan
pensil. Yang kemudian ditindas dengan " malam " menggunakan canting.
Sedangkan pada bathik cap, pola atau motif bathik dibuat dengan menggunakan cap
atau stamp yang terbuat dari tembaga. Cap tersebut dibasahi dengan malam dan
langsung dicapkan pada mori putih, jadi tanpa menggunakan pola dari pensil dan
tanpa menggunakan canthing. Dalam proses selanjutnya kedua jenis bathik ini
menggunakan cara yang sama.
FALSAFAH AGRARIS BATIK
Erat
sekali hubungan antara motif ( gambar) batik dengan lingkungan alam
sekitarnya. Bentuk dan warna biji dan bungan menjadi inspirasi dari
motif ( gambar) batik yang dibuat sedemikian indah oleh seniman
tradisional yang kreatif menghasilkan pelbagai gambar/ motif dengan makna
filosofisnya yayangh dalam. Motif/ gambar dari rambut disela-sela pelepah daun
pohon kolang kaling, melahirkan motif batik kawung. Dari bungan kenikir lahir
motif batik ceplok kembang kenikir, dari bunga asam lahir motif batik semen
kembang asem, dari buah manggis lahir motif batik ceplok manggis, dari
merekahnya bunga kecil lahirlah motif batik truntum, dari mata parang yang
rusak lahirlah motif parang . Dan untuk pengisi ruang kosongnya
diberi motif/ gambar bunga sirih, rembyang, cengkehan, bunga delima dan
lain-lain. Warna batik yang merah putih itu asalnya darti warna gula kelapa,
hijau putih dari gadung mlati , merah ibarat hutan terbakar.
Ketika
industrialisasi makin merebak, penggusuran hutan atau daerah pertanian dengan
hayati dan nabatinya, juga perubahan cara berpikir masyarakat pendukung
nilai-nilai filosofi batik, maka semakin jelas tergesernya filosofi agraris
yang menjadi isi utama filosofi motif batik.
Produk
teknologi proses pembuatan batik printing dengan motif/gambar batik hasil
rancangan komputer dengan variasi gambar dan kecerahan warna yang semarak
ataupun yang norak pada dua decade terakhir ini telah menciptakan tekstil
bermotif batik gaya baru.Meski pun mungkin isi filosofinya tak lagi
agraris. Atau tanpa filosofi, sekedar keceriaan.Ada juga motif-motif
batik dengan karya kreatif yang tidak terikat dengan filosofi agraris pada
batik tradisional, seperti motif batik Wahyu tumurun, wirasat, sri kuncoro,
Bokor kencana dan lain-lain.
Setiap
daerah memiliki ciri warna khas dan motif batiknya.
Kal;au di daerah Surakarta di pedalaman warna batik dikuasai
sogan coklat, latar hitam/kelenga atau biru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar